Link Geo sangat baik jika ditampilkan melalui FIREFOX. Anda dapat mendownloadnya di SINI

Buku-buku pilihan


Masukkan Code ini K1-89F7C3-1
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

Link-Geo Search Engine

Custom Search

Online Indonesian English Dictionary

Kamis, 01 Oktober 2009

Air untuk Kesejahteraan Rakyat

Reformasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Air
yang Berkelanjutan dan Berdimensi Kerakyatan

Oleh : Sudar D. Atmanto


Pendahuluan

"No Money, No Water" itulah judul buku yang cukup provokatif dari Jan Gerards -- seorang konsultan program pengembangan sumberdaya air dari Gaia Management Consultant. Dari judul buku di atas telah mengindikasikan akan munculnya problem konflik air, yang disebabkan semakin langkanya (scarcity) jumlah dan kualitas air yang dapat dimanfaatkan masyarakat.

Kekawatiran terhadap terjadinya kelangkaan air, juga tampak dari perhitungan Neraca Air - - selisih antara ketersediaan air dan kebutuhan air. Pada beberapa propinsi telah menunjukkan bahwa Propinsi Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat sejak tahun 1990 sudah mengalami defisit air (Dewan Riset Nasional, 1994). Dan pada tahun 2000 Nusa Tenggara Timur juga mengalami defisit air. Oleh karenanya tidaklah berlebihan, jika Jan Gerards mengingatkan bahwa nilai air pada saat mendatang akan sangat bersifat ekonomis.

Terjadinya situasi "demand side efect" terhadap keberadaan air, akan berakibat bahwa air tidak dapat berfungsi sebagai komoditas publik (public goods). Pada akhirnya air akan bergeser fungsinya menjadi komoditas ekonomi (economic goods), yang kehilangan makna fungsi sosialnya.
Menurut Apun Afandi (1994), di Indonesia kebutuhan air untuk keperluan domestik (rumah tangga) di pedesaan kurang lebih 120 liter per orang perhari. Sedangkan di negara seperti Amerika Serikat, kebutuhan air rata-rata sekitar 400-650 liter per orang perhari.

Meningkatnya aktivitas pembangunan dan tekanan penduduk berakibat semakin meningkatkan kebutuhan akan air. Dampak negatif dari situasi tersebut yaitu berakibat semakin kritisnya kondisi hidrologis dan kelestarian konservasi air, serta semakin tercemarnya sumber air. Kondisi kritis juga diindikasikan dengan sangat besarnya fluktuasi debit air antara musim hujan dan musim kemarau sampai mencapai 150 kali (Dewan Riset Nasional, 1994). Semakin jeleknya fungsi tangkapan air di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS), berakibat semakin langkanya air pada musim kemarau dan menjadi bencana banjir pada musim hujan. Situasi dan kondisi di atas apabila tidak dikelola secara antisipatif akan menjadi faktor pendorong munculnya suasana kompetisi dan bahkan tidak mustahil akan memunculkan konflik kepentingan penggunaan air, baik pada pemanfaat yang sejenis --- misalnya antar petani dalam satu sistim irigasi ---, akan tetapi juga konflik antar sektor pengguna dan antar wilayah.

Relevansi dengan kekhawatiran semakin kompetitif antar pengguna dan akan berkembang pada situasi konflik kepentingan antar sektor tersebut, sektor pertanian tampaknya akan menjadi salah satu sektor yang akan menerima dampaknya. Menurut Soenarno (1995) kebutuhan air irigasi untuk budidaya pertanian diperkirakan masih sekitar 80 % dari total kebutuhan air. Dengan semakin bertambahnya penduduk dan berkembangnya pembangunan sektor lain, maka dikhawatirkan eksistensi jaminan alokasi air untuk pertanian akan menjadi labil dan tergeser oleh kebutuhan penggunaan air untuk sektor lainnya.

Implikasi dari perubahan makro konsumsi air antar sektor, akan dialami oleh usahatani para petani secara mikro. Perubahan ini perlu diantisipasi dan disiasati agar tidak semakin memperburuk posisi petani/rakyat. Tidak adanya hak guna air bagi petani/rakyat selama ini secara formal dan legal, akan menjadikan posisi petani/rakyat masih sangat rentan dalam menghadapi konflik penggunaan air yang akan semakin tajam.

Air, dalam Problem Lingkungan Makro

Dalam konteks problem lingkungan secara makro, ternyata kasus tentang air semakin hari semakin menjadi persoalan yang intensif. Air sebagai bagian hidup yang tak terpisahkan dari manusia, di beberapa wilayah telah menjadi kasus lingkungan yang terbesar.

Tabel 1. Kasus Lingkungan Berdasarkan Wilayah Menurut
Pemberitaan Media Cetak Selama Tahun 1997

Jenis Kasus \ Wilayah
Air
Hutan
Pesisir
Tanah
Udara
1. Jawa
2. Sumatera
3. Kalimantan
4. Sulawesi
5. Maluku
6. Bali + Nusa Tenggara
7. Irian Jaya
48
21
7
-
1
2

2

5
15
14
8
1
5

3

17
10
4
11
31
2

-

16
7
3
1
-
-

3

33
5
1
-
-
-

-

Jumlah
81
47
50
32
39

Dari data di atas menunjukkan bahwa kasus air ternyata menempati urutan teratas dari segi kuantitas/frekuensi pemberitaan. Hal ini menunjukkan bahwa problem tentang air semakin banyak dialami oleh masyarakat. Di lain pihak masyarakat luas pun --- dalam hal ini pers -- telah memberi perhatian yang semakin besar. Kemudian apabila kita cermati lebih lanjut dari munculnya kasus tentang air yang ada di media masa mengindikasikan pada beberapa hal yaitu: (1) persoalan tentang air semakin banyak terjadi di masyarakat; (2) terdapat peningkatan kesadaran masyarakat terhadap hak air atau hak-hak lingkungan air; (3) adanya porsi pemberitaan yang semakin meningkat di media masa; dan (4) ketidak mampuan instansi pemerintah dalam menyelesaikan kasus-kasus lingkungan, khususnya kasus air. Pada masa mendatang, apabila tidak ada perbaikan yang menyeluruh dalam pengelolaan air, dapat dipastikan kasus-kasus tentang air akan semakin banyak menghiasi pemberitaan. Oleh karenanya pelaksanaan reformasi kebijaksanaan dalam pengelolaan air harus dijadikan keniscayaan.

Beberapa Contoh Konflik Air

Menurut Soenarno (1995), akhir-akhir ini jumlah pemanfaatan air, dibandingkan dengan jumlah air yang dapat diandalkan (dependable flow) khususnya di Pulau Jawa, cukup besar. Artinya ada gejala defisit antara penggunaan dengan jumlah air yang tersedia. Meskipun Indeks Penggunaan Air (IPA) di Pulau Jawa diperkirakan mencapai 51,26 %, akan tetapi beberapa wilayah sungai (WS) telah melebihi 100 %, misalnya WS Ciliwung, WS Brantas, atau WS Ciujung - Ciliman. Pada area WS tersebut pada saat sekarang telah mengalami defisit air.

Kondisi tersebut akan memicu konflik air antar irigasi dan sektor lainnya. Di Jawa Barat misalnya pada tahun 1994, di Daerah Irigasi Rentang terjadi gagal panen akibat kurang air yang mencapai 23.000 hektar. Hal ini terjadi karena air yang ada juga harus digunakan untuk sektor lainnya.
Selain itu dari hasil penelitian Pusat Dinamika Pembangunan (PDP) Universitas Padjajaran 1996, di Daerah Irigasi Cewalengke, Jawa Barat menunjukkan bahwa dengan adanya pengambilan air untuk pabrik-pabrik tekstil di Majalaya, berakibat sebagian lahan pertanian menjadi kekurangan air atau diberakan pada Musim Tanam ke 3 (? 109 ha). Kondisi ini sebelumnya tidak pernah terjadi.

Contoh lain hasil penelitian LP3ES tahun 1997 di sungai Sampean (Jawa Timur), di mana pada salah satu anak sungai di bagian hulu akan dibangun bangunan pengambilan air oleh PDAM. Hal ini sangat meresahkan masyarakat petani yang sudah lama memanfaatkan air sungai tersebut. Mereka mengkhawatirkan, jika air diambil PDAM, maka sawah mereka tidak bisa tanam sebagaimana biasanya. Selain itu juga hasil penelitian LP3ES di Sungai Kali-Babak-Lombok Tengah, pernah terjadi konflik air antara petani dengan pengusaha pencucian kain “Jeans”. Akibat adanya pencucian tersebut, maka terjadi pencemaran air Sungai Kali-Babak, di mana sekitar 115 ha sawah tanaman padi menjadi gagal panen. Berita terakhir tentang konflik air, diberitakan oleh Harian Kompas pada 10 Agustus 1998, dengan judul "Nasib Korban Pencemaran Lampung". Sekitar 612 nelayan tradisional dan 72 petani ikan nila yang ada di Sungai Way Seputih dan Way Terusan menuntut keadilan. Akibat pencemaran air sungai yang dilakukan 2 (dua) industri pabrik, mengakibatkan matinya 900 ton ikan nila atau kerugian petani mencapai Rp. 4,5 milyar.

Beberapa contoh di atas, hanya sebagian kecil dari terjadinya konflik air antar masyarakat lokal dengan pengguna air pada sektor lainnya. Ironisnya dari konflik air tersebut, masyarakat lokal tidak berdaya menghadapinya, oleh karena tidak mempunyai ijin penggunaan air. Sedangkan pengguna air sektor modern (non-pertanian) selalu mempunyai /memegang surat ijin penggunaan air. Sehingga pada saat terjadi kejadian konflik air, “seolah-olah” masyarakat lokal pada posisi yang salah. Sebab masyarakat lokal memang tidak mempunyai ijin legal-formal seperti pengguna air sektor modern (non-pertanian).

Hak Pengelolaan Air Masyarakat

Lemahnya posisi masyarakat lokal dalam memegang “hak pengelolaan air” yang terindikasi dari tidak adanya ijin formal-legal yang diperoleh masyarakat lokal menjadi sangat relevan untuk dipersoalkan ketika kompetisi penggunaan air menjadi satu fenomena. Padahal dalam UU No. 11/1974 pasal 2, disebutkan bahwa air beserta sumbernya mempunyai fungsi sosial serta digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan dasar bahwa air akan digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka pada pasal 3 ayat 1 UU No 11/1974 mengatakan bahwa air dikuasai oleh negara. Dikuasai tentu dalam pengertian bukan dimiliki, akan tetapi untuk pengaturan lebih lanjut. Dan dalam hal ini kewenangannya diberikan kepada pemerintah. Terdapat beberapa kewenangan pemerintah yang seharusnya dapat digunakan untuk memperkuat atas hak pengelolaan air masyarakat lokal yaitu misalnya memberi ijin peruntukan, penggunaan, penyediaan air dan atau sumber air; atau dapat memberi ijin pengusahaan air dan atau sumber-sumber air.

Selain itu dalam perspektif memperkuat posisi masyarakat lokal, dalam pasal 3 ayat 2 UU No. 11/1974 dikatakan bahwa kekuasaan negara atas air, tetap memperhatikan atau menghormati hak yang dimiliki oleh masyarakat adat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Akan tetapi dalam palaksanaan pelimpahan wewenang untuk mengelola air (hak guna air), lebih lanjut diatur dalam UU No.11/1974, pasal 4. Pada pasal tersebut dijelaskan ternyata pelimpahan wewenang hanya diberikan kepada instansi pemerintah (baik pusat maupun daerah) dan atau badan hukum tertentu, yang syarat dan caranya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Persoalannya sekarang, siapakah organisasi masyarakat yang dapat mewakili kepentingan pemakai air untuk diakui oleh Departemen Kehakiman sebagai badan hukum yang dapat diberi wewenang untuk dilimpahi mengelola air oleh pemerintah. Di sini mengandung "pengaburan" pengertian bahwa sebenarnya posisi atau kedudukan masyarakat lokal atau masyarakat adat dapat mengelola sumber air yang selama ini sudah eksis dikelola mereka.

Kelembagaan Air: Menghapus Direktorat Jenderal Pengairan?

Kemudian apabila kita perhatikan bagaimana wewenang pengelolaan air dan atau sumber air yang ada pada wilayah sungai, maka perlu dilihat Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air. Pada pasal 5 ayat 1 dari PP No. 22/1982 disebutkan bahwa wewenang yang timbul dari hak penguasaan negara, seperti pada pasal 3 ayat 2, UU No 11/1974, atas air dan atau sumber air yang berada di wilayah sungai atau bagian dari wilayah sungai di dalam suatu daerah, dilimpahkan dalam rangka tugas pembantuan kepada Pemerintah Daerah. Sedangkan wewenang dimaksud pada pasal 5 ayat 1, PP No. 22/1982 atas wilayah sungai yang lebih dari satu daerah, tetap berada pada Menteri (PU).

Sebagai tindak lanjut dari pasal 5, PP No. 22/1982, maka ditetapkan Peraturan Menteri PU No. 48/PRT/1990 tentang pengelolaan atas air dan atau sumber air pada wilayah sungai. Sedang pada Per.Men. PU No. 39/PRT/1984 diatur tentang pengelompokkan pengelolaan WS yaitu: 15 WS tetap berada pada Menteri, 73 WS dilimpahkan kepada Pemda Tk I, dan 2 WS dilimpahkan kepada badan hukum. Sedangkan untuk pengurusan pengelolaan sumber air bawah tanah, menurut Pasal 6 ayat 1, Peraturan Pemerintah No. 22/1982 dikatakan bahwa tanggung jawab pengelolaan pada Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pertambangan. Sehingga terdapat perbedaan institusi pengelolaan air permukaan dan air tanah. Di sinilah salah satu problem besar pengelolaan sumberdaya air di Indonesia, di mana terdapat instansi yang berbeda. Padahal antara air permukaan dan air tanah ada hubungan yang sangat erat secara ekologis.

Selanjutnya dalam melaksanakan wewenang pengaturan air --- sesuai UU No. 11/1974, pasal 5 ayat 2 --- maka ditetapkan Peraturan Menteri PU No. 67/PRT/1993 tentang Panitia Tata Pengaturan Air (PTPA) Propinsi Daerah Tk I dengan tugas membantu Gubernur dalam melaksanakan wewenang koordinasi tata pengaturan air. Untuk melaksanakan aktivitas PTPA, perlu dibuat Surat Keputusan Gubernur pada masing-masing Daerah Tk. I. Pada pelaksanaan di lokasi, Gubernur dapat membentuk Panitia Pelaksana Tata Pengaturan Air (PPTPA) pada wilayah sungai yang dianggap memiliki kompleksitas masalah yang tinggi.

Akan tetapi dalam realita, adanya berbagai institusi yang bertanggung jawab dalam pengelolaan air, seringkali terjadi "overlaping" dalam operasionalisasinya. Sebagaimana diketahui bahwa dalam pengelolaan sumberdaya air terdapat 3 (tiga) gatra pengelolaan yaitu: (1) gatra perlindungan; (2) gatra pengembangan; dan (3) gatra penggunaan/pemanfaatan air. Dalam operasionalnya masing-masing aspek tersebut di bawah tanggung jawab dari beberapa Departemen atau Pemerintah Daerah. Sehingga berakibat tidak jelasnya pertanggung jawaban dalam pengelolaan sumberdaya air. Oleh karena itu salah satu reformasi kebijaksanaan yang mendasar dalam pengelolaan sumberdaya air adalah perlunya diperbaharui UU No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan, di mana wewenang pengelolaan sumberdaya air tidak cukup diberikan kepada Menteri atau Departemen tertentu. Pada saat sekarang sudah perlu dibentuk Badan Pengelola Sumberdaya Air. Badan ini bertanggung jawab langsung pada Presiden, dan operasionalnya mencakup tiga gatra kegiatan yaitu perlindungan, pengembangan dan penggunaan/pemanfaatan air. Sehingga pada waktu mendatang akan dapat diminimalisir sectoral approach dalam pengelolaan air.

Ekonomi - Politik Sumberdaya Air

Fenomena pembangunan pengelolaan sumberdaya air yang dilaksanakan secara sektoral akan selalu menghasilkan output yang selalu problematis. Selain itu pembangunan yang lebih mementingkan pada institusi modern dan formal, hanya akan memarjinalkan masyarakat lokal yang selama ini sudah memanfaatkan dan mengelola sumber-sumber air yang ada. Ini semua merupakan sebuah akibat dari pendekatan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, dan dikelola secara sentralistis politik. Sehingga rakyat yang tidak mempunyai aksesibilitas ekonomi dan politik dengan penguasa cenderung untuk selalu kalah atau dikalahkan.

Fenomena reformasi yang ada saat sekarang, perlu diisi dan ditindaklanjuti dengan format ekonomi politik yang lebih demokratis, egaliter dan berpihak untuk kesejahteraan rakyat-masyarakat secara luas. Begitu juga dalam pengelolaan sumberdaya air, arah reformasi hukum dan kebijaksanaannya perlu diorientasikan untuk pemberdayaan rakyat-masyarakat. Pemerintah sebagai perpanjangan negara dalam pengelolaan sumberdaya air, perlu mengembangkan kebijaksanaan yang menempatkan dirinya sebagai fasilitator pembangunan dan tidak berorientasi sebagai aktor.

Dalam hal ekonomi politik sumberdaya air dengan paradigma baru, maka perlu dikembangkan "reparian rights" dari masyarakat lokal untuk diakui dan dikembangkan. Dari sinilah, akan melahirkan kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya air yang berkeadilan. Sehingga potensi masyarakat lokal, akan berkembang tanpa kehilangan sumberdaya alam yang selama ini dikelolanya.

Catatan Penutup

Makalah singkat ini mencoba mengajukan fakta-fakta adanya konflik air di masyarakat sebagai akibat semakin bergesernya fungsi air bagi masyarakat yaitu dari public goods menjadi economic goods. Di lain pihak juga telah mendiskusikan bagaimana aturan hukum dan kebijaksanaan yang ada, pada saat sekarang tidak mampu lagi mengatasi persoalan tersebut. Bahkan dalam prakteknya malahan meminggirkan masyarakat lokal dalam penguasaan dan pengelolaan sumberdaya air.
Oleh karena itu, berikut disampaikan beberapa rekomendasi untuk melakukan reformasi hukum dan kebijaksanaan dalam pengelolaan sumberdaya air.

Pertama, perlunya terus dijaga stamina untuk memerangi kolusi, korupsi dan nepotisme dalam melaksanakan kegiatan. Selain itu juga diperlukan semangat transparansi.

Kedua, sudah saatnya diperbaharui UU No. 11/1974 tentang Pengairan, Peraturan Pemerintah No. 22/1982 tentang Tata Pengaturan Air, dan Peraturan Pemerintah No. 23/1982 tentang Irigasi. Perubahan terutama dalam hal institusi yang berwenang untuk mengelola sumberdaya air dan posisi masyarakat lokal perlu diakui secara lebih eksplisit atau secara formal-legal.

Ketiga, perlu dibentuk BADAN PENGELOLA SUMBERDAYA AIR baik di tingkat Nasional dan Daerah, yang mempunyai tanggung jawab untuk aspek perlindungan, pengembangan dan penggunaan/pemanfaatan. Selain itu juga melakukan fungsi pengelolaan untuk air permukaan dan air tanah secara integratif.

Sudar D. Atmanto, Peneliti dan Deputi Direktur Bidang Pengembangan Masyarakat LP3ES. Makalah disampaikan pada Lokakarya Reformasi Hukum dan Kebijaksanaan di Bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam, di Hotel Kartika Chandra 18-19 Agustsu 1998.

Pay Per Click Indonesia

Adsense Indonesia Bye Myspace Comments

Sumber-sumber bacaan dan unduhan

- http://langitselatan.com/, http://www.google.co.id/, http://id.wikipedia.org/wiki/Geografi, http://id.wikipedia.org/wiki/Tornado, http://rachmatwahidi.wordpress.com, http://andimanwno.wordpress.com, http://engineersblogs.blogspot.com, http://geo.ugm.ac.id/archives/100, http://www.e-dukasi.net/ untuk tujuan pembelajaran Geografi di kelas dan umum.

Bagi yang mau Upload File - Share File & Dapet Duit, Klik Banner di bawah