Oleh:
Prof DR Ir Soemarno,MS
Agustus 2007
I. PENDAHULUAN
Pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup seyogyanya menjadi acuan bagi kegiatan berbagai sektor pembangunan agar tercipta keseimbangan dan kelestarian fungsi sumberdaya alam dan lingkungan hidup sehingga keberlanjutan pembangunan tetap terjamin.
Pola pemanfaatan sumberdaya alam seharusnya dapat memberikan akses kepada segenap masyarakat, bukan terpusat pada beberapa kelompok masyarakat dan golongan tertentu, dengan demikian pola pemanfaatan sumberdaya alam harus memberi kesempatan dan peran serta aktif masyarakat, serta meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan.
Peranan pemerintah dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam harus dapat dioptimalkan, karena sumberdaya alam sangat penting peranannya terutama dalam rangka meningkatkan pendapatan negara melalui mekanisme pajak, retribusi dan bagi hasil yang jelas dan adil, serta perlindungan dari bencana ekologis. Sejalan dengan otonomi daerah, pendelegasian secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam dimaksudkan untuk meningkatkan peranan masyarakat lokal dan tetap terjaganya fungsi lingkungan.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam harus dapat mengurangi tumpang tindih peraturan penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan keselarasan peran antara pusat dan daerah serta antar sektor. Selain itu peran serta aktif masyarakat dalam akses dan kontrol sumberdaya alam harus lebih optimal karena dapat melindungi hak-hak publik dan hak-hak adat.
Meningkatnya intensitas kegiatan penduduk dan industri perlu dikendalikan untuk mengurangi kadar kerusakan lingkungan di banyak daerah antara lain pencemaran industri, pembuangan limbah yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan kesehatan, penggunaan bahan bakar yang tidak aman bagi lingkungan, kegiatan pertanian, penangkapan ikan dan pengelolaan hutan yang mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Dengan memperhatikan permasalahan dan kondisi sumberdaya alam dan lingkungan hidup dewasa ini, maka kebijakan di bidang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup ditujukan pada upaya :
(1) mengelola sumberdaya alam, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui melalui penerapan teknologi ramah lingkungan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampungnya;
(2) menegakkan hukum secara adil dan konsisten untuk menghindari perusakan sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan;
(3) mendelegasikan kewenangan dan tanggung jawab kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup secara bertahap;
(4) memberdayakan masyarakat dan kekuatan ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal;
(5) menerapkan secara efektif penggunaan indikator-indikator untuk mengetahui keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup;
(6) memelihara kawasan konservasi yang sudah ada dan menetapkan kawasan konservasi baru di wilayah tertentu; dan
(7) mengikutsertakan masyarakat dalam rangka menanggulangi permasalahan lingkungan global.
Sasaran yang ingin dicapai adalah terwujudnya pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan berwawasan keadilan seiring meningkatnya kesejahteraan masyarakat serta meningkatnya kualitas lingkungan hidup sesuai dengan baku mutu lingkungan yang ditetapkan, serta terwujudnya keadilan antar generasi, antar dunia usaha dan masyarakat, dan antar negara maju dengan negara berkembang dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang optimal.
II. ARAH KEBIJAKAN
Untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan di atas, GBHN 1999 mengamanatkan bahwa :
1) Mengelola sumberdaya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi;
2) Meningkatkan pemanfaatan potensi sumberdaya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan, dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan;
3) Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan keterbaharuan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat balik;
4) Mendelegasikan secara bertahap wewenang peperintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya alam secara selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup dengan kualitas ekosistem tetap terjaga yang diatur dengan Undang-Undang;
5) Mendayagunakan sumberdaya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan ruang yang pengusahaannya diatur UU.
III. internalisasi Perdagangan dan Lingkungan Menuju Pembangunan Berkelanjutan
Sejak tahun 1965, GATT telah memiliki "Komisi Perdagangan dan Pembangunan" yang memperdulikan persoalan perdagangan di belahan bumi selatan.
Pada tahun 1972, komisi itu membentuk sebuah kelompok yang dinamakan "Tindakan terhadap Lingkungan dan Perdagangan lnternasional". Kelompok ini dibentuk setelah munculnya kecemasan bahwa kepentingan lingkungan akan menghambat perdagangan.
Perangkat utama yang tersedia bagi GATT untuk menangani masalah lingkungan adalah Pasal XX (yang tidak menggunakan kata lingkungan) dan Persetujuan mengenai Hambatan Teknik terhadap Perdagangan (yang menggunakan kata lingkungan). Setiap negara memiliki hak untuk menggunakan tindakan perdagangan seperlunya untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan dengan pengawetan sumberdaya alam yang dapat habis.
Tindakan semacam ini juga dapat diterapkan untuk membatasi produksi dan/atau konsumsi dalam negeri, namun tidak boleh menghasilkan diskriminasi yang sewenang-wenang atau tidak boleh berlaku di semua negara dan tindakan itu tidak boleh merupakan pembatasan terselubung atas perdagangan internasional.
Persetujuan mengenai Hambatan Teknis Terhadap Perdagangan memberikan kerangka untuk menangani masalah yang berkaitan dengan perdagangan di tingkat multilateral yang timbul akibat peraturan dan baku-mutu teknis.
Pasal XX GATT tidak boleh dibiarkan menjadi celah yang dapat dimanfaatkan oleh para proteksionis. Melanggar asas perdagangan bebas harus dilihat sebagai kekecualian, dan sifat kekecualian ini harus pula dipertahankan bila ada bahaya terhadap lingkungan.
Beberapa asas dasar berikut ini harus dimasukkan ke dalam peraturan GATT untuk menangani masalah lingkungan:
Keterbukaan: Persyaratan "pemberitahuan" perlu dimasukkan sehingga semua peraturan mengenai lingkungan yang dapat berdampak terhadap perdagangan tidak bermakna ganda secara internasional.
Keabsahan: Tindakan perlindungan lingkungan yang membatasi perdagangan harus sah; jadi didukung oleh bukti ilmiah yang kuat. Badan atau panel pakar ilmiah internasional harus dibentuk untuk menguji keabsahan tindakan semacam itu. Kalau ancaman terhadap lingkungan sangat serius atau tidak dapat diubah, GATT WTO harus menerapkan asas pencegahan.
Kesebandingan: Tindakan yang membatasi perdagangan tidak boleh melampaui batas yang memang diperlukan untuk melindungi lingkungan.
Subsidioritas: Jika kepentingan lingkungan sudah terpenuhi tanpa tindakan yang mempengaruhi perdagangan, maka tindakan yang mengganggu perdagangan harus ditiadakan.
IV. Standardisasi, AKREDITASI, DAN SERTIFIKASI BIDANG Lingkungan
4.1. Perkembangan Global
Keterkaitan antara dunia usaha dan lingkungan hidup telah disadari sejak dilaksanakannya "Conference on Human and Environment" oleh PBB pada tahun 1972 di Stockholm, yang dilanjutkan di Nairobi pada tahun 1982. Konperensi tersebut melahirkan pemikiran bahwa pembangunan industri yang tidak terkendali akan mempengaruhi kelangsungan dunia usaha itu sendiri.
Pemikiran tersebut ditindaklanjuti dengan pembentukan United Nations Environment Program (UNEP) dan World Commission on Environment and Development (WCED). lstilah "Sustainable Development" yang diperkenalkan dalam laporan WCED pada tahun 1987 juga mencakup pengertian bahwa kalangan industri sudah harus mulai mengembangkan sistem pengelolaan lingkungan yang dilaksanakan secara efektif. Selanjutnya diselenggarakan "United Nations Conference on Environment and Development (UNCED)" di
Menindaklanjuti gagasan tersebut, lnggris mengeluarkan baku-mutu pengelolaan lingkungan yang pertama kali di dunia pada tahun 1992, yaitu British Standard (BS) 7750. Komisi Uni Eropa mulai memberlakukan Eco-Management and Audit Scheme (EMAS) pada 1993. Dengan diberlakukannya EMAS, BS 7750 direvisi dan kembali ditetapkan pada tahun 1994. Beberapa negara Eropa yang lain juga mulai mengembangkan standardisasi pengelolaan lingkungan.
Di tingkat internasional, dengan dorongan kalangan dunia usaha "International Standardization Organization" (ISO) dan International Electrotechnical Commission (IEC) membentuk "Strategic Advisory Group on the Environment" (SAGE) pada bulan Agustus 1991. SAGE merekomendasikan kepada ISO akan perlunya suatu Technical Committee (TC) yang khusus bertugas untuk mengembangkan suatu seri standar pengelolaan lingkungan yang berlaku secara internasional.
Pada tahun 1993, ISO membentuk TC 207 yang khusus bertugas mengembangkan baku-mutu (standar) lingkungan yang dikenal sebagai ISO seri 14000. Standar yang dikembangkan mencakup rangkaian enam aspek, yaitu:
1. Environmental Management System (EMS).
2. Environmental Auditing (EA).
3. Environmental Labelling (EL).
4. Environmental Performance Evaluation (EPE).
5. Life Cycle Analysis (LCA).
6. Term and Definitions (TD).
Beberapa pokok pemikiran yang mendasari ISO seri 14000 adalah sebagai berikut:
1. Menyediakan elemen-elemen dari suatu sistem pengelolaan lingkungan yang efektif dan dapat dipadukan dengan persyaratan pengelolaan lainnya.
2. Membantu tercapainya tujuan ekonomi dan lingkungan dengan meningkatkan kinerja lingkungan dan menghilangkan serta mencegah terjadinya hambatan dalam perdagangan.
3. Tidak dimaksudkan sebagai hambatan perdagangan non-tarif atau untuk mengubah ketentuan-ketentuan hukum yang harus ditaati.
4. Dapat diterapkan pada semua tipe dan skala organisasi.
5. Agar tujuan dan sasaran lingkungan dapat tercapai maka harus didorong dengan penggunaan Best Practicable Pollution Control Technology (Teknologi Pengendalian Pencemaran Terbaik yang Praktis) dan Best Available Pollution Control Technology EconomicaIly Achieveable (Teknologi Pengendalian Pencemaran Terbaik yang layak ekonomi).
Sistem Pengelolaan Lingkungan yang dikembangkan oleh ISO mengambil model "continual improvement" yang didefinisikan sebagai:
"Process of enhancing the environmental management system, the purpose of achieving improvements in overall environmentaI performance, not necessarily in the areas of activity simultaneously, resulting from continuous efforts to improve in line with the organization's environmental policy".
Arti dari ISO seri 14000 adalah Sistem Pengelolaan Lingkungan, yang dalam pelaksanaannya didukung oleh beberapa alat bantu (support tools) tentang:
1. Kajian pelaksanaan program lingkungan dan Sistem Pengelolaan Lingkungan: "Environmental Audits",
2. Evaluasi kinerja lingkungan yang dicapai organisasi: "EnvironmentaI Performance Evaluation",
3. Pemberian label lingkungan terhadap produk: "Environmental Labelling", dan
4. Kajian tentang daur hidup produk dari bahan mentah, proses (limbah) hingga pada produk yang tak dapat dimanfaatkan kembali (sampah), ini disebut dengan Life Cycle Assessment.
Beberapa keuntungan yang dapat dari pelaksanaan Sistem Pengelolaan Lingkungan adalah:
1. Optimisasi penghematan biaya dan efisiensi.
2. Mengurangi risiko lingkungan.
3. Meningkatkan citra (image) organisasi.
4. Meningkatkan kepekaan terhadap perhatian publik.
5. Memperbaiki proses pengambilan keputusan.
4.2. STANDARDISASI, AKREDITASI, DAN SERTIFIKASI BIDANG LINGKUNGAN di Indonesia
(KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMTAK LINGKUNGAN
Nomor: Ke- 29/BAPEDAL/05/1997).
4.2.1. KETENTUAN UMUM
1. Lingkungan adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan Perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya
2. Standar bidang lingkungan adalah spesifikisi teknis atau sesuatu yang dibakukan dalam bidang lingkungan, disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat kelestarian fungsi lingkungan, kesehatan, keselamatan, perkembangan iImu pengetahuan dan teknologi, serta berdasarkan pengalaman , perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya
3. Standardisasi adalah proses merumuskan, merevisi, menetapkan dan menerapkan standar yang dilaksanakan secara tertib dan bekerjasama dengan semua pihak
4. Sistem Standardisasi Nasional, yang selanjutnya disingkat SSN, adalah Sebagai tatanan jaringan sarana dan kegiatan standardisasi yang serasi, selaras dan terpadu yang meliputi perumusan standar, penerapan standar, pembinaan dan pengawasan standardisasi kerjasama dan informasi standardisasi, kerjasama dan informasi standardisasi metrologi dan akreditasi
5. Standar Nasional Indonesia, yang selanjutnya disebut SNI, adalah standar yang ditetapkan dan diberlakukan kepala badan Pengendalian dampak lingkungan setelah mendapat persetujuan dari dewan standardisasi nasional serta berlaku secara nasional di Indonesia
6. Perumusan standar adalah proses penyusunan SNI yang menjamin konsensus nasional antara pihak-pihak yang berkepentingan termasuk instansi pemerintah, swasta, organisasi profesi/ usaha, kalangan ahli/ pakar, produsen, konsumen dan pihak terkait lainnya;
7. Konsensus adalah kesepakatan pihak-pihak berkepentingan terhadap suatu konsep standar baik, langsung maupun tidak langsung yang menyatakan tidak berkeberatan menjadi rancangan SNI;
8. Revisi standar adalah kegiatan menyempurnakan standar sesuai dengan kebutuhan dan dilaksanakan sesuai dengan perumusan standar;
9. Penerapan standar adalah kegiatan menggunakan SNI sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
10. Akreditati adalah pengakuan formal dari Komite Akreditasi Nasional, atas nama Dewan Standardisasi Nasional berdasarkan usul Komite Akreditasi Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, kepada unit / lembaga / institusi/ organisasi/ laboratorium penguji atas kemampuannya untuk melaksanakan kegiatan tertentu dalam standardisasi bidang lingkungan , sesuai dengan persyaratan dan kriteria yang ditetapkan Dewan Standardisasi Nasional;
11. Sertifikasi adalah proses yang berkaitan dengan sertifikat oleh suatu unit / lembaga / institusi /organisasi / laboratorium Penguji yang telah diakreditasi;
12. Sertifikat adalah dokumen yang menyatakan kesesuaian hasil proses sertifikasi terhadap persyaratan yang ditentukan.
13. Sertifikasi Sistem Manajemen Lingkungan adalah proses yang berkaitan dengan pemberian sertifikat Sistem Manajemen Lingkungan kepada unit/ lembaga /institusi /organisasi yang telah mampu menerapkan standar Sistem manajemen Lingkugan;
14. Sertifikasi Label Lingkungan adalah proses yang berkaitan dengan pemberian sertifikat label Iingkungan kepada unit / lembaga/ institusi/ organisasi untuk produk atau jasa tertentu yang telah memenuhi ketentuan atau kriteria label lingkungan
15. Sertifikasi Hasil Uji adalah proses yang berkaitan dengan pemberian sertifikat yang menyatakan hasil pengujian atas contoh uji sesuai dengan spesifikasi/metode uji/standar tertentu;
16. Sertifikasi Auditor Lingkungan adalah Proses yang berkaitan dengan pemberian sertifikat yang menyatakan bahwa seseorang telah memiliki kualifikasi Auditor Lingkungan;
17. Lembaga Sertifikasi adalah lembaga yang netral, baik pemerintah maupun swasta, yang telah diakreditasi untuk Melaksanakan sertifikasi tertentu:
18. Laboratorium Penguji adalah suatu laboratorium, yang akreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) untuk melakukan sertifikasi Hasil Uji berdasarkan ruang lingkup akreditasi yang ditetapkan;
19. Sistem Manajemen Lingkungan adalah bagian dari keseluruhan sistem manajemen yang meliputi struktur organisasi , perencanaan kegiatan tanggung jawab, praktek/ pelaksanaan, prosedur, proses dan sumber daya untuk mengembangkan, menerapkan, mencapai, mengkaji dan memelihara kebijaksanaan lingkungan;
20. Audit Lingkungan adalah suatu alat manajemen yang meliputi evaluasi secara sistematik, terdokumentasi, periodik dan objektif tentang bagaimana suatu kinerja organisasi , sistem manajemen dan peralatan dengan tujuan memfasilitasi kontrol manajemen terhadap pelaksanaan upaya pengendalian dampak lingkungan dan pengkajian Penataan kebijakan usaha atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan lingkungan;
21. Auditor lingkungan adalah individu Yang telah disertifikasi menurut kualifikasi tertentu yang ditetapkan dan/ atau ditugaskan untuk melaksanakan sebagian atau seluruh fungsi yang berkaitan dengan penilaian suatu unit / institusi /produk / jasa dalam rangka kegiatan standardisasi bidang lingkungan;
22. Label lingkungan adalah pernyataan atau tanda lingkungan dari produk atau jasa yang menyatakan bahwa produk / jasa tersebut sesuai dengan ketentuan kriteria yang ditetapkan,
23. Dewan Standardisasi Nasional, yang selanjutnya disebut DSN, adalah dewan yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 20 tahun 1984 jo Keputusan Presiden Nomor 7 1989 tentang Dewan Standardisasi Nasional;
24. Komite Akreditasi Nasignal, yang selanjutnya disingkat KAN, adalah suatu wadah non struktural yang bertugas untuk mengkoordinasikan, mensinkronisasikan, membina dan mengawasi kegiatan akreditasi dan sertifikasi di Indonesia yang berkedudukan di bawah dan bertanggung-jawab kepada DSN.
25. Komite Akreditasi Badan Pengendalian Dampak Lingkunngan, yang selanjutnya disebut Komite Akreditasi BAPEDAL adalah suatu wadah non struk-tural di lingktungan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan yang dibentuk sesuai dengan tugas, persyaratan dan kriteria yang ditetapkan DSN
26. Logo Akreditasi adalah logo KAN sebagaimana ditetapkan dalam pedoman DSN;
27. Kepala adalah Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
28. Badan Pengendalian DAMPAK Lingkungan, yang selanjutnya disebut BAPEDAL, adalah suatu Lembaga Pemerintah Non Departernen yang bertugas untuk mengendalikan dampak lingkungan yang meliputi pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan kerusakan lingkungan, serta pemulihan kualitas lingkungan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
4.2.2. Kegiatan standardisasi
a. Perumusan dan pelaksanaan program standardisasi berdasarkan Kebijaksanaan Standardisasi Nasional yang ditetapkan oleh DSN.
b. Penyusunan dan penetapan tatalaksana dan sistem kelembagaan standardisasi.
c. Perumusan konsep standar bidang lingkungan untuk dikonsensuskan menjadi rancangan SNI yang kemudian diajukan kepada DSN untuk memperoleh persetujuan menjadi SNI.
d. Perumusan dan penetapan peraturan serta pedoman penerapan SNI.
e. Penyelenggaraan kerjasama teknis, pembinaan, pengawasan dan peningkatan kemampuan teknis dalam rangka penerapan SNI.
f. Penyelenggaraan hubungan internasional dengan koordinasi DSN, publikasi, publisitas, popularisasi, pendidikan dan pelatihan standardisasi.
g. Pelaksanaan penilaian terhadap pemohon akreditasi atas dasar penugasan yang diberikan oleh KAN.
h. Penyusunan panduan teknis operasional Komite Akreditasi BAPEDAL dan persyaratan lembaga sertifikasi serta laboratorium penguji berdasarkan persyaratan dan pedoman yang ditetapkan DSN.
4.2.3. STANDARDISASI BIDANG LINGKUNGAN
Penyusunan Program Kebijaksanaan Standardisasi
(1). BAPEDAL menyampaikan informasi rencana pelaksanaan kegiatan dan mengajukan usulan program standardisasi kepada DSN sebagai baban untuk menyusun program dan/atau kebijaksanaan standardisasi nasional.
(2). BAPEDAL memberikan tanggapan, masukan dan saran kepada DSN terhadap konsep kebijaksanaan dan Standardisasi nasional khususnya bidang lingkungan,
(3). BAPEDAL menyusun kebijaksanaan dan/atau program staridardisasi sesuai dengan kebijaksanaan dan program standardisasi nasional yang ditetapkan DSN.
(4). BAPEDAL mengkoordinasikan pelaksanaan perumusan standar bidang lingkungan.
(5). Rancangan standar bidang lingkungan disusun dengan memperhatikan:
a. Upaya menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan.
b. Standar internasional atau standar lain di bidang lingkungan.
c. Efisiensi dan efektifitas penggunaan standar dalam rangka mencapai tujuan pelestarian fungsi lingkungan,
d. Antisipasi diberlakukannya ketentuan-ketentuan lingkungan dalam perdagangan.
Prosedur Perumusan Standar
(1) Prosedur perumusan standar bidang lingkungan dilaksanakan sesuai dengan SSN yang ditetapkan oleh DSN.
(2) Dalam melaksanakan perumusan standar sesuai dengan prosedur, BAPEDAL, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, instansi pemerintah, suasta, organisasi profesi / usaha, kalangan ahli/ pakar, produsen, konsumen, dan pihak terkait lainnya.
(3) Konsep standar yang telah dirumuskan olehh Panitia Teknis Perumusan Standar disebar-luaskan oleh BAPEDAL kepada instansi terkait lainnya yang bukan anggota panitia teknis untuk memperoleh tanggapan dan masukan.
(4) Waktu penyebarluasan sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) hari sebelum Forum Konsensus diselenggarakan.
(5) Tanggapan dan masukan harus sudah diterima oleh Panitia Teknis Perumusan Standar paling lambat 14 hari sebelum Forum Konsensus diselenggarakan.
4.2.4. Forum Konsensus
(1) Forum konsensus adalah forum untuk membahas konsep standar untuk mencapai kesepakatan menjadi rancangan SNI.
(2) Forum konsensus yang dibentuk oleh BAPEDAL terdiri atas PanitiaTeknis Perumusan Standar dan pihak- lainnya yang berkepentingan.
(3) Ketentuan lebih rinci mengenai Fonun Konsensus ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala.
4.2.5. Penetapan dan penerapan SNI
(1) BAPEDAL menyampaikan rancangan SNI sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 kepada DSN untuk mendapat persetujuan menjadi SNI.
(2) Berdasarkan persetujuan DSN, kepala menetapkan, mensahkan dan memberlakukan SNI.
(3) SNI dapat diberlakukan sebagai SNI wajib atau sukarela.
(4) Penerapan SNI wajib ditentukan oleh Kepala.
(5) Penerapan SNI sukarela dapat ditetapkan penerapannya seara wajib atas pertimbangan lingkungan, teknis, ekonomis atau pertimbangan lainnya.
4.2.6. Peninj auan Kembali SNI
(1) SNI ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun sekali atau setiap saat apabila diperlukan.
(2) Peninjauan kembali dapat berupa perubahan atau tanpa perubahan atau pencabutan.
(3) Peninjauan kembali dapat diajukan oleh masyarakat maupun Panitia Teknis Perumusan Standar kepada Kepala dan dilaksanakan atas pertimbangan lingkungan, teknis, ekonomis atau pertimbangan lainnya.
(4) Peninjauan kembali dilaksahakan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan DSN.
(5) Berdasarkan persetujuan DSN, Kepala menetapkan, mensahkan dan memberlakukan perubahan SNI.
4.2.7. AKREDITASI BIDANG LINGKUNGAN
Komite Akreditasi BAPEDAL
(1) Akreditasi Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Lingkungan, Lembaga Sertifikasi Label Lingkungan, Lembaga Sertifikasi Auditor Lingkungan dan Laboratorium Penguji dilaksanakan oleh KAN atas nama DSN berdasarkan usul Komite Akreditasi BAPEDAL.
(2) Komite Akreditasi BAPEDAL sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) beranggotakan wakil dan unit-unit terkait di BAPEDAL dan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup serta dan kalangan pakar, asosiasi profesi dan pihak terkait lainnya.
(3). Struktur organisasi Komite Akreditasi BAPEDAL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) akan ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala sesuai dengan pedoman yang ditetapkan DSN.
Prosedur Umum Pemberian Akreditasi
(1) Lembaga Sertifikasi / Laboratorium mengajukan permohonan kepada
(2) Atas Penugasan KAN, Komite Akreditasi BAPEDAL melakukan penilaian sesuai dengan permohonan yang diajukan berdasarkan pedoman yang ditetapkan DSN.
(3) Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Komite Akreditasi BAPEDAL menyampaikan rekomendasi dan berkas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada KAN.
(4) Berdasarkan hasil penilaian Komite Akreditasi BAPEDAL, KAN atas nama DSN memberikan penjelasan tertulis kepada Lembaga Sertifikasi / Laboratorium Penguji pemohonan yang belum mampu memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
(5) KAN atas nama DSN memberikan akreditasi kepada Lembaga Sertifikasi / Laboratorium Penguji pemohonan yang telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
(6) Lembaga Sertifikasi / Laboratorium penguji yang telah diakreditasikan oleh KAN berhak untuk menggunakan logo akreditasi.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi akan ditetapkan oleh Kepala sesuai dengan pedoman yang ditetapkan DSN.
4.2.8. SERTIFIKASI LINGKUNGAN
Sertifikasi Sistem Manajemen Lingkungan, Sertifikasi Label Lingkungan, Sertifikasi Hasil Uji serta Sertifikasi auditor Lingkungan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga Sertifikasi.
a. Sertifikasi Sistem Manajemen Lingkungan dilaksanakan oleh Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Lingkungan
b. Sertifikasi Label Lingkungan dilaksanakan oleh Lembaga Sertifikasi Label Lingkungan
c. Sertifikasi Auditor Lingkungan dilaksanakan oleh Lembaga Sertifikasi Personil Lingkungan.
d. Sertifikasi Hasil Uji dilaksanakan oleh Laboratorium Penguji.
Lembaga Sertifikasi laboratorium penguji adalah lembaga yang diakreditasikan oleh
Lembaga Sertifikasi dan laboratorium penguji harus menyampaikan laporan mengenai semua kegiatan yang berhubungan dengan Sertifikasi kepada Komite Akreditasi BAPEDAL untuk diteruskan kepada KAN.
Prosedur Umum Pemberian Sertifikasi
(1) Unit / Lembaga / institusi / organisasi / personil mengajukan permohonan kepada lembaga Sertifikasi untuk mendapatkan Sertifikasi tertentu.
(2) Lembaga Sertifikasi melakukan penilaian sesuai dengan pemohonan yang diajukan oleh unit / lembaga / institusi / organisasi/personil berdasarkan persyaratan Sertifikasi yang telah ditetapkan.
(3) Penilaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan oleh tim auditor lingkungan seseai kriteria yang telah ditetapkan.
(4) Atas dasar penilaian seperti tersebut dalam ayat (3) lembaga Sertifikasi memberikan keputusan hasil penilaian terhadap permohonan Sertifikasi.
(5) Lembaga Sertifikasi memberikan Serfifikasi kepada unit/lembaga/institusi/organisasi/personil pemohonan sertifikat yang mampu memenuhi persyaratan Sertifikasi yang telah ditetapkan.
(6). Lembaga sertifikasi memberikan penjelagan tertulis tentang ketidaksesuaian yang ditemukan dalam penilaian kepada organisasi / perusahaan /unit /personil / pemohon sertifikat yang belum mampu memenuhi persyaratan sertifikasi yang telah ditetapkan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi oleh KAN atas nama DSN berdasarkan usul Komite Akreditasi BAPEDAL sesuai dengan Pedoman yang ditetapkan-DSN.
Prosedur Umum Pemberian Sertifikat Hasil Uji Laboratoriurn
(1) Unit / Lembaga / institusi/organisasi/personil mengajukan permohonan kepada Laboratorium Penguji untuk mendapatkan sertifikat.
(2). Laboratorium Penguji melakukan pengujian sesuai dengan permohonan yang diajukan oleh unit / lembaga / instusi / organisasi/ personil berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
(3). Pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan oleh tim penguji/analis sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
(4). Laboratorium Penguji memberikan sertifikat hasil uji kepada unit/ lembaga / instansi / institusi / organisasi /personil yang mengajukan permohonan pengujian sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
(5). Atas dasar pengujian seperti ayat (3) laboratorium penguji memberikan hasil pengujian kepada pemohonan tidak memenuhi standar atau kriteria yang telah ditetapkan.
Lembaga sertifikasi menjamin bahwa suatu unit / lembaga /institusi / organisasi / personil yang telah memperoleh Sertifikat selalu dapat memelihara kesesuaian standar yang diacu selama sertifikat tersebut masih berlaku, dengan melakukan pemeriksaan secara berkala dan sewaktu- waktu sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan DSN.
4.2.9. Label Lingkungan
Unit / lembaga /Institusi/organisasi yang telah mempunyai sertifikat dari Lembaga Sertifikasi berhak untuk mendapatkan
Label lingkungan serta Nomor SNI diberlakukan oleh Kepala atas persetujuan DSN.
V. Sistem Pengelolaan Lingkungan
Berdasarkan pengalaman dan evaluasi terhadap pelaksanaan pengelolaan lingkungan selama ini, dipandang perlu untuk menyusun suatu sistem pengelolaan lingkungan yang memberikan sarana lebih terstruktur dalam mencapai target pengelolaan lingkungan.
Sistem Pengelolaan Lingkungan dapat diartikan sebagai integrasi dari struktur organisasi, wewenang dan tanggung jawab, mekanisme dan prosedur/proses, praktek operasional, dan sumberdaya untuk implementasi pengelolaan lingkungan.
Pengelolaan lingkungan meliputi segenap aspek fungsional pengelolaan untuk mengembangkan, mencapai, dan menjaga kebijakan dan tujuan organisasi dalam isu-isu lingkungan hidup.
Sistem Pengelolaan Lingkungan memberikan mekanisme untuk mencapai dan menunjukkan kinerja lingkungan yang baik, melalui upaya pengendalian dampak lingkungan dari kegiatan, produk dan jasa.
Agar dapat diimplementasikan secara efektif, Sistem Pengelolaan Lingkungan harus mencakup beberapa elemen utama sebagai berikut:
1. Kebijakan lingkungan: pernyataan tentang maksud kegiatan pengelolaan lingkungan dan prinsip-prinsip yang digunakan untuk mencapainya.
2. Perencanaan; mencakup identifikasi aspek lingkungan dan persyaratan peraturan lingkungan hidup yang bersesuaian, penentuan tujuan pencapaian dan program pengelolaan.
3. lmplementasi; mencakup struktur organisasi, wewenang dan tanggung jawab, pelatihan, komunikasi, dokumentasi, pengendalian dan tanggap darurat.
4. Pemeriksaan reguler dan tindakan perbaikan: mencakup pemantauan, pengukuran, dan audit.
5. Kajian pengelolaan; kajian tentang kesesuaian dan efektifitas sistem untuk mencapai tujuan dan perubahan yang terjadi di luar organisasi.
Setiap organisasi, tanpa batasan bidang kegiatan, jenis kegiatan, skala kegiatan dan status organisasi, dapat mengimplementasikan Sistem Pengelolaan Lingkungan tersebut untuk mencapai kinerja lingkungan yang lebih baik secara sistematis. lmplementasi sistem tersebut bersifat sukarela dan berperan sebagai alat pengelolaan untuk memanajemen organisasi masing-masing.
5.1. AMDAL dalam Pengelolaan Lingkungan
Setiap kegiatan pembangunan secara potensial mempunyai dampak terhadap lingkungan. Dampak-dampak ini harus dipelajari untuk merencanakan upaya mitigasinya. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1993 (PP 51/1993) tentang Analisis Mengenal Dampak Lingkungan (AMDAL) menyatakan bahwa studi tersebut harus merupakan bagian dari studi kelayakan dan menghasilkan dokumen-dokumen sebagai berikut:
1. Kerangka Acuan (KA) ANDAL, yang memuat lingkup studi ANDAL yang dihasilkan dari proses pelingkupan.
2. Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), yang merupakan inti studi AMDAL. ANDAL memuat pembahasan yang rinci dan mendalam tentang studi terhadap dampak penting kegiatan yang diusulkan.
3. Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), yang memuat usaha-usaha yang harus dilakukan untuk mitigasi setiap dampak lingkungan dari kegiatan yang diusulkan.
4. Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), yang memuat rencana pemantauan dampak lingkungan yang akan timbul.
RKL dan RPL merupakan persyaratan mandatory menurut PP 51/1993, sebagai bagian kelengkapan dokumen AMDAL bagi kegiatan wajib AMDAL. Untuk kegiatan yang tidak wajib AMDAL, penanggulangan dampak lingkungan yang timbul memerlukan:
1. Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL)
2. Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL)
3. Pertanggung-jawaban pelaksanaan audit, antara auditor dan manajemen organisasi.
4. Komunikasi temuan-temuan audit.
5. Kompetensi audit.
6. Bagaimana audit akan dilaksanakan.
Sebagai dasar pelaksanaan Audit Lingkungan di Indonesia, telah dikeluarkan Kepmen LH No. 42/MENLH/11/1994 tentang Prinsip-Prinsip dan Pedoman Umum Audit Lingkungan. Dalam Lampiran Kepmen LH No. 41/94 tersebut didefinisikan bahwa:
"Audit lingkungan adalah suatu alat pengelolaan yang meliputi evaluasi secara sistematik terdokumentasi, periodik dan obyektif tentang bagaimana suatu kinerja organisasi, sistem pengelolaan dan pemantauan dengan tujuan memfasilitasi kontrol pengelolaan terhadap pelaksanaan upaya pengendalian dampak lingkungan dan pengkajian kelayakan usaha atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan lingkungan".
"Audit Lingkungan suatu usaha atau kegiatan merupakan perangkat pengelolaan yang dilakukan secara internal oleh suatu usaha atau kegiatan sebagai tanggungjawab pengelolaan dan pemantauan lingkungannya. Audit lingkungan bukan merupakan pemeriksaan resmi yang diharuskan oleh suatu peraturan perundang-undangan, melainkan suatu usaha proaktif yang diIaksanakan secara sadar untuk mengidentifikasi permasalahan lingkungan yang akan timbul sehingga dapat dilakukan upaya-upaya pencegahannya".
Peraturan tersebut menggaris-bawahi pentingnya implementasi suatu sistem pengelolaan lingkungan untuk meningkatkan kinerja lingkungan. Hal ini selaras dengan substansi dari ISO seri 14000.
5.2. Produksi Bersih dalam Pengelolaan Lingkungan
Berdasarkan pengalaman pelaksanaan upaya pengendalian dampak lingkungan selama ini, dapat dikaji beberapa pokok penting sebagai berikut:
1. Produksi limbah terus meningkat.
2. Karakteristik limbah semakin kompleks sehingga limbah semakin sulit diolah.
3. Biaya pengolahan dan pembuangan limbah semakin mahal.
4. Mengolah limbah ternyata lebih mahal daripada mencegah terbentuknya limbah.
5. Pengolahan limbah hanya memindahkan limbah dari satu media ke media lainnya.
6. Pencemaran lingkungan terus berlanjut.
7. Peraturan yang ada masih terfokus pada pengolahan dan pembuangan limbah dan belum mencakup usaha-usaha pencegahannya.
8. Adanya dampak globalisasi terhadap daya saing produk di pasar lnternasional.
Berdasarkan hal~hal tersebut di atas, maka pengendalian dampak lingkungan harus berpola proaktif dengan urutan prioritas:
1. Prinsip pencegahan pencemaran (pollution prevention)
2. Pengendalian pencemaran (pollution control),
3. Remediasi (remediation).
Upaya pencegahan pencemaran secara sistematik dapat dilaksanakan melalui pelaksanaan program Produksi Bersih (Cleaner Production). lstilah Cleaner Production mulai diperkenalkan oleh UNEP pada bulan Mei 1989 dan diajukan secara resmi pada bulan September 1990 pada "Seminar on the Promotion of Cleaner Production" di Cantebury, lnggris.
UNEP mendefinisikan Produksi Bersih sebagai:
"Pelaksanaan yang terus menerus untuk mengurangi sumber pencemaran secara terpadu guna mencegah pencemaran udara, air dan tanah pada proses industri dan produknya, serta meminimalkan risiko bagi populasi manusia dan lingkungan”.
Untuk “proses”, produksi bersih mencakup upaya penghematan bahan baku dan energi, tidak menggunakan bahan baku B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), mengurangi jumlah toksik semua limbah dan emisi yang dikeluarkan sebelum produk meninggalkan proses.
Untuk “produk”, produksi bersih memfokuskan pada upaya pengurangan dampak yang timbul di keseluruhan daur hidup produk, mulai dari ekstraksi bahan baku sampai pembuangan akhir setelah produk tidak dapat digunakan lagi.
Strategi produksi bersih mencakup upaya pencegahan pencemaran melalui pilihan jenis proses yang akrab lingkungan, minimisasi limbah, analisis daur hidup, dan teknologi bersih.
Keuntungan yang didapat melalui penerapan produksi bersih adalah:
1. Sebagai pedoman bagi perbaikan produk dan proses.
2. Penghematan bahan baku dan energi yang sekaligus pengurangan ongkos produksi per satuan produk.
3. Peningkatan daya saing mefalui penggunaan teknologi baru dan/atau perbaikan teknologi.
4. Pengurangan kebutuhan bagi penaatan baku mutu dan peraturan yang lebih banyak.
5. Perbaikan citra perusahaan di mata masyarakat.
6. Pengurangan biaya secara nyata sebagai alternatif solusi pengolahan “ujung pipa” yang mahal.
vi.
6.1. Konsep dan Pengertian
6.2. Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri
(KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN RIDUP, NOMOR: KEP-03/MENLH/l/1998)
Dalam rangka untuk melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair ke media lingkungan. Kegiatan pembuangan limbah cair oleh kawasan industri mempunyai potensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian.
Untuk melaksanakan pengendalian pencemaran air sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendatian Pencemaran Air, perlu ditetapkan lebih lanjut Baku Mutu Limbah Cair.
Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan hidustri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri.
Perusahaan Kawasan Industri adalah perusahaan yang mengusahakan pengembangan dan/atau pengelolaan Kawasan Industri.
Baku Mutu Limbah Cair Kawasan Industri adalah batas maksimum limbah cair yang diperbolehkan dibuang ke lingk-ungan hidup dari suatu Kawasan Industri.
Limbah Cair Kawasan Industri adalah limbah dalam bentuk cair yang dihasilkan oleh kegiatan Kawasan Industri yang dibuang ke lingkungan hidup dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup.
Mutu Limbah Cair adalah keadaan limbah cair yang dinyatakan dengan debit, kadar dan beban pencemar.
Debit maksimum adalah debit tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan hidup.
Kadar maksimum adalah kadar tertinggi yang masih diperbolebkan dibuang ke lingkungan hidup.
Beban pencemaran maksimum adalah beban pencemaran tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan hidup.
Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri yang telah mempunyai Unit Pengolah Limbah Terpusat adalah sebagaimana tersebut dalam Keputusan ini. Bagi Kawasan Industri yang belum mempunyai Unit Pengolah Limbah Terpusat berlaku Baku Mutu Limbah Cair bagi jenis-jenis industri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kadar maksimum dari masing-masing parameter atau debit limbah maksimum sebagaimana tersebut dalam Keputusan ini dapat dilampaui sepanjang beban pencemaran maksimum tidak dilampaui (Pasal 2).
Gubemur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Keputusan ini dengan persetujuan Menteri (Pasal 3).
Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan ini. Apabila Gubemur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair yang lebih ketat maka berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana diatur dalam Keputusan ini. (Pasal 4).
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan untuk kawasan industri mensyaratkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari Baku Mutu Limbah Cair Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka untuk kawasan industri tersebut ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan (Pasal 5 ).
Setiap penanggung jawab Perusahaan Kawasan lndustri wajib untuk (Pasal 6):
a. Melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah cair yang dibuang ke lingkungan hidup tidak melampaui Baku Mutu Limbah Cair yang telah ditetapkan;
b. Membuat saluran pembuangan limbah cair yang kedap air sehingga tidak terjadi perembesan limbah cair ke lingkungan;
c. Memasang alat ukur debit atau laju alir limbah cair dan melakukan pencatatan debit harian limbah cair tersebut;
d. Memeriksakan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair secara periodik sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam sebulan;
e. Memisahkan saluran pembuangan limbah air dengan limpasan air hujan;
f. Menyampaikan laporan tentang luas lahan yang terpakai, catatan debit harian dan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sekurang-kurangnya 6 bulan sekali kepada Kepala Bapedal, Bapedalda Tingkat I, Bapedalda Tingkat II, Instansi Teknis yang membidangi kawasan industri, dan instansi lain yang dianggap perlu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Setiap penanggungjawab Perusahaan Kawasan industri dilarang melakukan pengenceran limbah cair (Pasal 7).
Apabila Baku Mutu Limbah Cair kegiatan kawasan industri telah ditetapkan sebelum Keputusan ini maka (Pasal 8):
(a) Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Keputusan ini dinyatakan tetap berlaku;
(b) Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar daripada Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Keputusan ini wajib disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Keputusan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah ditetapkannya Keputusan ini.
PARAMETER | KADAR MAKSIMUM | BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM |
| (mg/liter) | (kg/hari.Hari) |
BOD5 | 50 | 4.3 |
COD | 100 | 8.6 |
TSS | 200 | 17.2 |
pH | 6.0 - 9.0 | |
DEBIT LIMBAH CAIR MAKSIMUM: 1 L per detik per HA lahan kawasan yang terpakai.
PERHITUNGAN BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM UNTUK MENENTUKAN MUTU LIMBAH CAIR
Penerapan baku mutu limbah cair pada pembuangan limbah cair melalui penetapan beban pencemaran maksimum sebagaimana tercantum dalam Lampiran I didasarkan pada juralah unsur pencemar yang terkadung dalam aliran limbah cair. Untuk itu digunakan perbitungan sebagai berikut :
1. Beban Pencemaran Maksimum (BPM)
BPM = (Cm)j x Dm x A x f........................ (II. 1. 1)
Keterangan :
BPM = Beban Pencemaran Maksimum yang diperbolehkan, dinyatakan dalam kg parameter per hari
(Cm)j = Kadar maksimum parameter j seperti tercantum dalam Lampiran I Keputusan ini, dinyatakan dalam mg/I.
Dm = Debit limbah cair maksimum seperti tercantuin dalam Lampiran 1, dinyatakan dalam L limbah cair per detik per hektare.
A = Luas lahan kawasan yang terpakai, dinyatakan dalam hektare (HA)
f = faktor konversi =
1 kg 24 x 3600 detik
--------------------x -------------------------- = 0.086 …. (II.1.2)
1.000.000 mg hari
2. Beban pencemaran sebenarnya dihitung dengan cara sebagai berikut
BPA = (CA)j x (DA) x f ................. (II.2. 1)
Keterangan
BPA = Beban pencemaran sebenarnya, dinyatakan dalam kg parameter per hari
(CA)j = Kadar sebenarnya parameter j, dinyatakan dalam mg/l
DA = Debit limbah cair sebenarnya, dinyatakan dalam liter/detik
f = faktor konversi = 0,086
3. Evaluasi
Penilaian beban pencemaran adalah :
BPA tidak boleh melewati BPM
4. Contoh Penerapan
Data yang diambil dari lapanan untuk penerapan Baku Mutu Limbah Cair Kawasan Industri adalah:
- Luas areal kawasan industri yang terbangun (A) [hektare,ha]
- Kadar sebenarnya (CA) untuk setiap parameter [mg/liter]
- Debit limbah hasil pengukuran (DA) [liter/detik]
Contoh perhitungan:
Suatu kawasan industri mempunvai luas lahan kawasan terpakai 1.500 hektar. Parameter dari Lampiran 1 yang akan dijadikan contoh perhitungan adalah parameter (j) BOD.
Dari Lampiran 1 diketahui :
- Debit maksimum yang diperbolehkan (Dm) = 1 liter/detik/ha
- Untuk parameter BOD diketahui:
Kadar maksimum (Cm) = 50 mg/liter
- Beban maksimum yang diperbolehkan = 4.3 kg/hari/ha
Data Lapangan:
- Kadar BOD hasil pengukuran (CA) = 60 mg/liter
- Debit hasil pengukuran (DA) = 1000 liter/detik
- Luas lahan Kawasan terpakai (A) = 1500 ha.
Beban pencemaran maksimum parameter BOD yang diperbolehkan untuk kawasan industri tersebut (persamaan II.1.1) adalah:
BPM = Cm x Dm x f x A
= 50 x 1 x 0.086 x 1.500
= ( 4.3 kg/hari/ha ) x 1.500 ha
= 6.450 kg/hari
Beban pencemaran sebenarnya untuk parameter BOD kawasan industri tersebut (persamaan ll.2.1) adalah:
BPA = CA x DA x f = 60 x 1.000 x 0.086 = -;.160 ka',iarl
Dari contoh di atas BPA (5.160 kg/hari) lebih kecil dari pada BPM (6.450 kg/hari), jadi untuk parameter BOD kawasan tersebut menenuhi Baku Mutu Limbah Cair.
DAFTAR PUSTAKA
Agenda 21 Indonesia. 1996. Menteri Negara Lingkungan Hidup
Brian Rothery. 1995. ISO 14000. Sistem Manajemen Lingkungan. Seri Manajemen No. 179. PT. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.
Canter, L.W. 1977. Environmental Impact Assessment. McGraw-Hill Book Company,
Canter, L.W. dan L.G.Hill. 1979. Handbook of Variables for Environmental Impact Assessment. Ann Arbor Science, Publishers Inc,
Chanlett, E.T. 1973. Environmental Protection. McGraw-Hill Book Company,
Frenkiel, F.N. dan Goodall, D.W. 1976. Simulation Modelling of Environmental Problems. John Wiley and Sons
Ott, W.R. 1978. Environmental Indices. Theory and Practice.Ann Arbor Science Publishers Inc.,
Thomas, W.A. 1972. Indicators of Environmental Quality, Environmental Science Research Series Vol 1. Plenum Press,
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKuNGAN HIDUP NOMOR: KEP-03/MENLH/1/1998, TEINTANG