JAKARTA , Jakarta diperkirakan akan mengalami krisis air minum pada 2025. Pemicunya adalah menurunnya pasokan bahan baku air akibat penurunan kualitas air sungai.Potensi air di Jakarta sebenarnya sangat melimpah. Namun, pencemaran sungai yang tinggi mengakibatkan menurunnya ketersediaan air minum. Selama penataan permukiman di pinggir sungai belum dilakukan, sungai akan terus tercemar.JAKARTA , Jakarta diperkirakan akan mengalami krisis air minum pada 2025. Pemicunya adalah menurunnya pasokan bahan baku air akibat penurunan kualitas air sungai.Demikian diungkapkan Ketua Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi) Dorodjatun Kuntjoro Jakti dalam workshop tingkat nasional Perpamsi di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, Rabu (29/7). Di sisi lain, menurut Dorodjatun, kelangkaan bahan bakar minyak akibat habisnya cadangan sumber daya alam akan memengaruhi penyediaan air karena pasokan air memerlukan bahan bakar untuk pengolahan dan penyuplaian.“Secara sosial demografi, peningkatan jumlah penduduk, peningkatan arus urbanisasi ke kota, dan tuntutan peningkatan kesejahteraan umum dan kualitas hidup akan meningkatkan kebutuhan akan air minum,” jelas mantan Menteri Koordinator Perekonomian tersebut.Untuk itu, jelasnya, diperlukan penghematan penggunaan air bersih yang memerlukan tingkah laku pelanggan serta struktur penyuplaian dan penggunaan yang baik. Misalnya, kegiatan mencuci kendaraan di musim kemarau yang biasa dilakukan orang Jakarta. “Padahal di Singapura, kalau ketahuan petugas, bisa dipidana,” ujarnya. Sementara itu, Ketua Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum Rahmat Karnadi mengatakan karena air minum merupakan kebutuhan dasar, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus bertanggung jawab terhadap pemenuhan air minum tersebut.Sesuai amanat UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air, penyedia layanan harus dapat memberikan air minum. Kemampuan pemerintah terbatas, sedangkan kebutuhan masyarakat semakin meningkat seiring pertumbuhan penduduk.Target MDGs (Milennium Development Goals) untuk proporsi penduduk yang mendapatkan akses pelayanan air minum perpipaan pada 2015 mencapai 57,4 persen penduduk atau 142,5 juta jiwa.“Sampai 2007, baru tercapai pelayanan bagi 16,18 persen atau 36,5 juta jiwa. Rata-rata kemampuan penambahan pelayanan dalam lima tahun hanya 10 juta penduduk per tahun,” jelasnya.Pengamat tata kota, Nirwono Joga, menambahkan sumber air di Jakarta sebenarnya melimpah. Namun, pencemaran sungai begitu tinggi akibat banyak warga membuang sampah hingga membuang hajat ke sungai.“Masih banyak warga yang buang air besar ke sungai. Bahkan Sungai Ciliwung mendapat julukan jamban terpanjang di dunia,” ujarnya.Ia mengatakan selama penataan permukiman di pinggir sungai belum dilakukan, sungai akan terus tercemar. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sebaiknya menggandeng pemerintah provinsi untuk mengupayakan warga tidak membuang sampah ke sungai. Sebab sungai merupakan sumber baku air minum.“Selain itu, masyarakat masih menganggap sampah harus dibuang, bukan dikelola. Kita perlu mengadopsi konsep zero waste. Sampah organik bisa dibuat kompos,” tuturnya.Langkah kedua, menurutnya, adalah mengoptimalkan situ-situ yang ada di Jabodetabek. Dari 202 situ yang ada di Jabodetabek, 20 situ sudah menghilang akibat ditimbun untuk permukiman. Padahal potensinya besar sekali, cukup untuk memenuhi kebutuhan air minum di Jabodetabek.Keberadaan situ-situ ini, sambungnya, perlu dijaga agar air tidak tercemar. Ia mencontohkan di Melbourne, Australia, situ menjadi bahan baku untuk air minum. Karena itu, di sekelilingnya ada hutan lindung dan dipagari supaya tidak tercemar.Sementara itu, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta Ubaidillah mengungkapkan krisis air bisa menimbulkan konflik di masyarakat karena air merupakan kebutuhan dasar manusia. Akan ada antrean air, dan itu bisa menjadi potensi konflik. Untuk itu, ia mendesak Pemprov DKI Jakarta segera merealisasikan luas ruang terbuka hijau (RTH) sebanyak 13 persen untuk memperluas daerah tangkapan air tanah. warso |
sumber: Koran Jakarta