Jakarta, Kompas - Secara keseluruhan, Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air dinilai hanya memandang air sebagai komoditas untuk komersialisasi dengan membuka peluang privatisasi di sektor air. Akibatnya, hanya kalangan mampu yang akan terjamin aksesnya terhadap air bersih. Kebijakan itu dikhawatirkan kelak dapat melecut konflik antargolongan dalam masyarakat.
Oleh karena itu, RUU SDA yang kebablasan harus ditinjau ulang dengan mengakomodasi masukan dari berbagai kalangan masyarakat.
Demikian penilaian berbagai kalangan masyarakat mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Sumber Daya Air (SDA)-yang kini sedang dibahas Panitia Kerja (Panja) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah-yang dihubungi Kompas hari Sabtu (13/9) dan Minggu.
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudo Husodo mengatakan, secara keseluruhan, RUU SDA memandang air sebagai komoditas untuk komersialisasi. Padahal, untuk negara berkembang seperti Indonesia, fungsi ekonomi sosial air jauh lebih besar ketimbang fungsi ekonomi untuk komersialisasi.
"Rumusan RUU Sumber Daya Air saat ini sangat diwarnai nuansa komersialisasi air. Saya menyadari, air memiliki fungsi ekonomi yang sangat penting. Namun, itu fungsi ekonomi sosialnya, bukan ekonomi komersial seperti di negara-negara maju," katanya.
Wijanto Hadipuro, pengajar Fakultas Ekonomi dan Program Magister Lingkungan dan Perkotaan Unika Soegijapranata Semarang, Jawa Tengah, mengatakan hal serupa. RUU SDA, katanya, lebih dipandang dengan pendekatan pasar sehingga memberi peluang kepada swasta untuk berperan seluas-luasnya dalam pengelolaan air (Pasal 11 Ayat 3).
Wijanto memastikan, dengan dibukanya peluang besar pada swasta untuk terlibat, akan diterapkan prinsip opportunity cost (biaya karena kesempatan yang hilang). Prinsip tersebut diterapkan ketika seseorang atau sekelompok orang menggunakan air dengan gratis atau murah, sementara pada saat bersamaan ada orang atau kelompok lain yang bersedia membayar lebih untuk menggunakan air, maka kelompok yang pertama akan dikalahkan kepentingannya.
"Hal itu sudah terjadi di Waduk Jatiluhur, Jawa Barat. Air untuk jaringan irigasi bagi petani dibatasi sekali jumlahnya karena untuk memenuhi kebutuhan suatu industri. RUU SDA harus ditinjau ulang, kalau perlu dengan debat publik," kata Wijanto lagi.
Terjebak Bank Dunia
Wijanto dan Nila Ardhianie (dari Koalisi Air) meyakini, modus privatisasi sektor air dalam RUU SDA tidak terlepas dari peran Bank Dunia yang membuat pemerintah seperti terjebak. Krisis moneter tahun 1997 mendorong pemerintah memperoleh pinjaman bersifat cepat dikeluarkan. Bank Dunia menawarkan Structural Adjustment Loan (SAL) dengan syarat perubahan struktural dalam sektor air melalui agenda Water Resources Sector Adjustment Loan (Watsal).
Akhirnya pada 28 Mei 1999 ditandatangani perjanjian pinjaman 300 juta dollar AS yang dicairkan dalam tiga tahap. Rencananya, Desember 2003, pencairan tahap ketiga sebesar 150 juta dollar AS akan dilakukan dengan syarat RUU SDA tersebut telah disahkan.
Sinyalemen agenda pencairan itu telah tampak dalam Rapat Kerja Menteri Keuangan Boediono dengan Panitia Anggaran DPR 26 Agustus 2003. Ketika itu Boediono mengatakan, ada bantuan program untuk menutupi pembengkakan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang belum bisa cair. Hal itu karena pemerintah belum dapat memenuhi syarat tertentu, seperti RUU SDA yang belum juga disahkan (Kompas, 27 Agustus 2003).
Saat ini sejumlah perusahaan besar dunia di sektor air telah beroperasi di Indonesia. Misalnya, Biwater di Batam dan Palembang; Ondo-Suez di Jakarta, Medan, Semarang , dan Tangerang; Thames Water di Jakarta dan Sidoarjo; dan Vivendi yang juga beroperasi di Sidoarjo.
Wijanto menjelaskan, tahun 1993 Bank Dunia mengeluarkan policy paper (kebijakan) di sektor manajemen sumber daya air yang memakai pendekatan pasar. Dalam kebijakan tersebut Bank Dunia menghindari kata privatisasi yang juga dianggap sensitif. Sebagai gantinya, digunakan istilah public private partnership (kemitraan swasta) dalam manajemen sumber daya air.
"Itulah jargon Bank Dunia. Karena itu, tidak heran dia dan juga IMF (Dana Moneter Internasional) kerap dituding sebagai agen privatisasi yang merupakan kepanjangan tangan perusahaan multinasional dunia," kata Wijanto.
Dia menambahkan, seharusnya pemerintah berhati-hati membuat kebijakan di sektor air. "Ketahanan pangan kita sangat bergantung pada ketahanan di sektor air. Jangan sampai untuk air saja kita tergantung pada korporasi asing," kata Wijanto.
Siswono juga mengingatkan, kebijakan pemerintah di sektor air akan sangat mempengaruhi ketahanan pangan nasional. Pengaturan mengenai irigasi harus diatur dalam bab khusus dan menjamin secara tegas dan jelas tentang pasokan air bagi petani. Dia juga mengkritisi adanya hak guna pakai air dan hak guna usaha air (Pasal 8 Ayat 1 dan Pasal 9 Ayat 1).
Hak guna pakai air adalah hak memanfaatkan air untuk keperluan pokok sehari-hari dan tidak memerlukan izin tertentu, sedangkan hak guna usaha air adalah hak mengusahakan sumber daya air untuk keperluan usaha dan harus mendapat izin dari pemerintah pusat atau daerah.
Petani rakyat dalam jaringan irigasi dikategorikan dalam pemilik hak pakai tanpa izin. Namun, petani di luar jaringan irigasi harus mendapat izin untuk mendapat hak pakai.
Contoh lainnya yang dapat merugikan masyarakat dan melecut konflik adalah badan usaha dan perorangan boleh mengusahakan sebagian dari wilayah sungai dengan izin dari pemerintah pusat atau daerah.
"Dengan demikian, akses masyarakat yang tergantung pada sungai akan menjadi sulit. Terlebih jika hak pengusahaan wilayah sungai tersebut ada di bagian hulu. Bagaimana jika masyarakat di daerah hilir sungai menjadi kurang memperoleh air," kata Wijanto.
Hal lain yang juga dikritisi Wijanto adalah perorangan dan badan usaha boleh memodifikasi cuaca atau memanfaatkan awan untuk keperluan pihak tersebut, setelah mendapat izin dari pemerintah (Pasal 38 Ayat 2). "Ini berlebihan sekali. Bagaimana jika suatu kelompok masyarakat petani tembakau, misalnya, yang justru dapat merugi dengan adanya hujan," kata Wijanto lagi.
Pemerintah tidak mampu
Secara terpisah, Direktorat Jenderal (Ditjen) Sumber Daya Air Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Roestam Sjarief mengatakan, kondisi riil saat ini pemerintah tidak akan sanggup mengelola sektor air secara efisien. Oleh karena itu, tidak ada salahnya swasta dilibatkan untuk mengelola air demi terjaminnya perolehan air untuk masyarakat luas.
Menurut dia, pada awalnya air memang merupakan barang publik. Namun, seiring dengan semakin langkanya air, air bergeser menjadi barang ekonomi. "Sehingga pengaturan terhadap air harus dengan kaidah-kaidah ekonomi supaya air itu dimanfaatkan secara efesien," kata Roestam seusai rapat Panja di Hotel Imperial Aryadutha di Lippo Karawaci, Tangerang, Sabtu.
Dalam konteks di Indonesia, menurut Roestam, air berada pada posisi antara barang publik dan barang ekonomi, yaitu sebagai barang sosial. "Tetapi sebagai barang sosial yang pengelolaannya seharusnya ditanggung pemerintah, sanggup atau tidak pemerintah? Untuk kebutuhan dasar air minum saja tidak sanggup," ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Roestam, pemerintah harus kreatif mencari sumber-sumber pembiayaan, salah satunya dengan melibatkan swasta. Pihak swasta nantinya dapat memfokuskan pelayanannya pada kalangan mampu. Sementara, dengan dana yang terbatas, pemerintah dapat melayani kalangan yang kurang mampu.
Ditanya, sejauh mana pelibatan swasta tidak akan menomorduakan rakyat miskin dalam memperoleh air dengan murah, Roestam menjawab, "Pemerintah sebagai pemberi izin yang akan mengawasi."
Roestam menambahkan, nantinya juga akan dibentuk Dewan Air Nasional yang terdiri dari unsur pemerintah dan nonpemerintah secara berimbang untuk merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan sumber daya air.
Namun, Nila mengkritisi komposisi Dewan Air tersebut yang menyebut unsur nonpemerintah jumlahnya berimbang. "Bagaimana bisa dikatakan berimbang kalau unsur nonpemerintah termasuk kalangan pengusaha. Kalangan masyarakat umum atau adat tidak jelas komposisinya," kata Nila seraya menambahkan, hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sangat dibatasi, dengan ketentuan harus dikukuhkan peraturan daerah setempat (Pasal 6 Ayat 3).
Pelayanan terbatas
Nila menilai RUU SDA enggan menjamin dengan tegas seluruh lapisan masyarakat dapat menjangkau air bersih. Hal itu tercermin dalam Pasal 77 Ayat 2. Di situ disebutkan, bantuan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah kepada badan usaha milik negara (BUMN)/badan usaha milik daerah (BUMD) pengelola air untuk pelayanan yang ditujukan bagi kesejahteraan dan keselamatan umum hanyalah dalam batas tertentu.
"Negara dan pemerintah harus bertanggung jawab terhadap terjaminnya masyarakat luas memperoleh air. Bukan swasta yang pasti lebih bertanggung jawab kepada pemodal. Tidak ada satu negara pun, khususnya negara berkembang, yang terbukti berpihak pada rakyat luas setelah sektor airnya diprivatisasi," kata Nila.
Padahal, Perserikatan Bangsa-Bangsa pada November 2002 mengesahkan air sebagai hak asasi manusia dalam International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights. Disebutkan, air adalah sumber daya alam yang terbatas dan merupakan barang publik yang sangat fundamental bagi kehidupan dan kesehatan. Hak atas air adalah mutlak bagi manusia agar manusia dapat hidup secara bermartabat.
Lebih jauh Wijanto mengkhawatirkan maraknya sejumlah pemerintah kabupaten yang mendirikan pabrik air minum kemasan. "Mereka jadi cenderung mengalirkan air untuk pabrik ketimbang ke saluran Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Sebab, harga jualnya lebih tinggi," kata Wijanto.
Dia menambahkan, dibukanya peran swasta seluas-luasnya mendorong privatisasi PDAM secara sistematis di kemudian hari. RUU SDA sendiri menyebut jelas soal kemitraan dengan badan usaha (swasta), yaitu dalam pola bangun, operasikan, dan transfer (build, operate, and transfer), perusahaan patungan, kontrak pelayanan, kontrak manajemen, kontrak konsesi, kontrak sewa, dan sebagainya.